Bio Ethics

Bio Ethics

Pewarta KBN Vol. 4 No. 1, Januari-Februari 2009

>> Monday, August 24, 2009

Dari meja Penyunting

Bioetika dan bioteknologi memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam beberapa tahun terakhir ini, bioetika mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal ini terbukti dengan semakin seringnya isu mengenai bioetika mengemuka di berbagai forum diskusi dan seminar internasional. Dalam berbagai penelitian yang berhubungan dengan bioteknologi, dihasilkan beberapa jenis produk. Oleh penemunya produk tersebut dicarikan perlindungan patennya agar tidak “dicuri” oleh pihak lain; artinya si penemu mempunyai hak eksklusif untuk pemanfaatan ekonomi temuannya, melalui proses pelisensian misalnya. Ini yang kita katakan sebagai perlidungan dalam bentuk hak kekayaan intelektual. Di Amerika Serikat ada slogan: “Everything under the sun that is made by man is patentable”.

Paten merupakan pemberian hak dari Pemerintah kepada penemu untuk membuat, menggunakan, dan menjual temuannya selama waktu tertentu (berlaku selama 20 tahun) dengan imbalan berupa royalti. Tujuan paten adalah untuk mencegah agar temuan tersebut tidak diaku oleh orang lain sebagai temuannya (semacam personal property), mencegah terjadinya pembajakan, dan mendorong kreativitas serta perkembangan produk penelitian. Tiga syarat paten ialah (1) kebaruan (novelty); (2) ketidakgamblangan (non-obviousness); dan (3) keterterapan industri (industrial applicability).

Ada sedikit kesulitan. Dalam bahasa Indonesia, terhadap dua kata dan pengertian discovery dan invention (bahasa Inggris) tidak dikenal adanya pembedaan istilah di antara keduanya yang lazim diketahui masyarakat luas secara tegas dan khas. Ini menjadikan kita semua kehilangan kepekaan kita terhadap kedua pengertian penting ini. Tidak mustahil kata ‘temuan’ mewakili keduanya, sehingga kita luput menghayati invention sebagai yang dapat dipatenkan, sedangkan discovery tidak dapat dimintakan perlindungan paten. Mudah-mudah sulit persoalannya. Bahasa Indonesia perundangan kita menggunakan ‘invensi’ sebagai padanan invention (bahasa Inggris). Discovery adalah penyingkapan sesuatu yang sebelumnya sudah ada, tetapi tidak ‘tampak’, sedangkan invention ialah hasil proses memperoleh sesuatu yang sebelumnya belum ada (membuat dari yang semula tidak ada menjadi ada).

Invention dalam bahasa ‘paten’ ialah solusi baru dari suatu masalah teknis, seperti produk yang bersifat mahal menjadi lebih murah, pendek umur menjadi lebih awet, atau berbahaya menjadi jinak atau proses yang terkait dengan produk seperti ini.

Prof. M. K. Tadjudin, Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, juga anggota Komisi Bioetika Nasional, dalam suatu seminar internasional bioetika tentang gen manusia di Fukui, Jepang (2001) mengatakan bahwa paten tidak melulu berkaitan dengan faktor profit saja. Kita pun harus mempertimbangkan segi etikanya: bagaimana dengan orang yang menjadi sumber gen yang dipatenkan itu. Ia tidak ditanyai dan mungkin ia tidak akan memperoleh manfaat ekonomi dari hasil temuan yang mungkin dilisensikan dengan royalti yang tidak sedikit. Ia tidak mendapatkan keuntungan apapun dari paten tersebut. Apakah ini artinya sang obyek penelitian menjadi “korban” suatu penelitian ilmiah yang telah dieksploatasi oleh si peneliti bagaikan pepatah “habis manis sepah dibuang”? Prof. Tadjudin berpendapat bahwa gen merupakan suatu anugerah yang berasal dari Tuhan (menjadikannya discovery?) sehingga tidak layak untuk dipatenkan. Paten diberikan kepada suatu produk ataupun proses yang dihasilkan dan dilakukan oleh manusia.•Widya Wulandari, Januari 2009, penyunting tamu.

0 komentar:

News Bioteknologi

Welcome to Research Center for Biotechnology LIPI

The Ninth Asian Bioethics Conference

Footnote

Contents by KBN ; bio ethics pict from nature_01 template; modified & maintenance by Ahmad S.S

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP