Bio Ethics

Bio Ethics

Pewarta KBN Vol. 4 No. 2, Maret-April 2009

>> Tuesday, August 25, 2009

Dari meja Penyunting

Kita berhadapan dengan lingkungan hidup yang semakin memburuk. Di jajaran UNESCO Bangkok secara bertahap para ahli dan pendidik sampai juga pada upaya menjawab tuntutan dan memeriksa ‘duduk perkara’nya. Kelompok Kerja yang mengurusi soal ini menggarap berbagai pemikiran dengan mengajukan beberapa pertanyaan terlebih dahulu: How do our worldviews allocate value and meaning to people, plants, animals and the biosphere? How to balance economic growth, quality of life, and other future aspirations in a holistic vision?

Catatan kita sekarang ini ialah mengapa pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak lebih sering diajukan dan dicarikan jawabnya, di mana saja, oleh siapa saja.

Prof Endang Sukara, di Yogayakarta, November 2009, tampil di Asian Bioethics Conference yang ke-9 dengan mengatakan bahwa:

“Before 1980s, Indonesia had at least 121 million ha of natural forest. Today however, the total natural forest is only 19 million ha. The rate of forest destruction is reaching more than 2 million ha per year. This is a significant contribution to the environmental changes brought about by human activities. Commercial (industrial-type) agriculture and forestry have been based on developing simple, even monoculture, systems to replace the complex species richness of the natural vegetation. Species, ecosystems, and valuable genes have been lost in this process.”

Ia melanjutkan:

”We do not know how many species will be needed to keep the planet green and healthy. It is imperative for us to search and instrumentally apply mechanisms to guide mankind in developing decision-making process. Religious discourse, politicians, and interdisciplinary academic study – a new model of authentic dialogue is needed where exchanges are circular and reciprocal, not vertical and reductionist to ensure a better life now and the future.”

Tentu saja pernyataan ini bukan untuk pertama kali diajukannya; bahkan mungkin sudah sejak sepuluh tahun yang lalu hal ini sudah dikemukan dan dijadikan dasar pola pikir ilmuwan Indonesia dalam menyikapi masalah besar seputar lingkungan hidup.

Sumbangan yang tidak kurang pentingnya ialah bagi kita untuk membahasnya secara terus-menerus, menyebarkan pandangan-pandangan baru yang lebih mengena dan lebih menjajikan untuk bergulir terus. Jangan sampai akhirnya kita tergilas karena bertemu dengan titik-tak-dapat-kembali. Lambat laun, persoalan lingkungan hidup menjadi faktor paling menentukan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Kendali ada pada siapakah? •ahn.april2008

0 komentar:

News Bioteknologi

Welcome to Research Center for Biotechnology LIPI

The Ninth Asian Bioethics Conference

Footnote

Contents by KBN ; bio ethics pict from nature_01 template; modified & maintenance by Ahmad S.S

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP