Prof. drh. Dondin Sayuthi, Ph.D. menanggapi artikel "Uji Coba Monyet Diprotes" yang dimuat pada Pewarta KBN, Nomor 3, Tahun ke-2, Mei-Juni 2007, yang diambil dari Media Indonesia 14 Desember 2006.
"Ada tiga aspek yang hendak ditanggapi sehubungan dengan tulisan tersebut :
1. Soal Monyet
Soal monyet yang menjadi hewan coba. Monyet kita pahami sebagai satwa primata yang memiliki filogenetika yang dekat dengna manusia. Karena itu, keberadaan monyet sebagai hewan coba sering dikaitkan dengna peran monyet sebagai hewan model untuk menjelaskan kejadian dan terjadinya penyakit pada manusia. Tidak ada pilihan yang bisa menjadi alternatif lain, kecuali menempatkan monyet sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang diamanatkan kepada manusia (sebagai khalifah di muka bumi) untuk dimanfaatkan secara bijaksana dan lestari.
Pemanfaatan moinyet secara bijaksana untuk kesejahteraan manusia dewasa ini sudah mencapai kemajuan yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya tiga indikator.
Indikator pertama adalah adanya ketentuan internasional bahwa pengunaan monyet sebagai hewan labotorium hanya diperbolehkan untuk kepentingan sains, seperti penelitian, pendidikan, pengajaran, dan uji coba.
Khusus penggunaan monyet sebagi hewan-coba, baru diijinkan manakala obat-obatan ataupun bahan biologi lainnya yang diuji-coba, seperti vaksin sudah melalui uji coba pada spesies yang memiliki filogenetik lebih rendah dari primata, seperti pada mencit, tikus dan kelinci. Bahkan selain melalui pengujian in-vivo tersebut, uji coba perlu didahului dengan uji-coba in-vitro maupun simulasi dengan permodelan komputer. Dengan ketentuan ini, maka penggunaan monyet untuk tujuan sains jelas dari tahun ke tahun semakin menurun, sejalan dengan semakin pahamnya kalangan peneliti tentang konsep-konsep bioetika.
Indikator yang kedua, semua jurnal internasional sepakat untuk tidak mempublikasikan penelitian menggunakan hewan laboratorium yang tidak melalui ethical clearance yang dilakukan Komisi Kesejahteraan Hewan (Institutional Animal Care and Use Committee, IACUC) yang memang harus dimiliki oleh institusi penelitian menggunakan hewan laboratorium.
Mengantisipasi hal ini Departemen Kesehatan RI, telah mengeluarkan Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, khususnya Suplemen II yang mengatur Etika Penggunaan Hewan Coba. Ketentuan ini dirumuskan oleh Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Pada prinsipnya upaya ini untuk mengimplementasikan konsep kesejahteraan hewan yang terkenal dengan konsep 5 Freedom, yaitu bebas dari rasa lapar, rasa haus, rasa sakit/penyakit, rasa tidak nyaman yang kronis, bebas dari cekaman, dan juga dapat mengekspresikan sifat alamiahnya.
Indikator ketiga, di negara-negara maju bahkan di Indonesia, telah dikembangkan jejaring (network) antar peneliti untuk mengoptimalkan pemanfaatan hewan laboratorium, termasuk monyet, sehingga tidak ada sumber informasi yang terbuang. Ketiga monyet itu harus "dikorbankan untuk kesejahteraan manusia", maka semua organ dan jaringan benar-benar dimanfaatkan untuk dikaji secara terpadu dan menyeluruh. Bila pada kurun itu tidak dimanfaatkan maka organ dan jaringan tersebut disimpan dalam bank "organ & jaringan". Upaya ini merupakan implementasi dari konsep 3-R, yaitu Reduce, Replace dan Refine.
2. Soal Bioetika
Kita menyadari bahwa perkembangan konsep bioetika berkaitan erat dengan perkembangan peradaban manusia. Dan, sebagai manusia, suatu pemahaman sangat berkaitan erat dengan pengetahuan, pengalaman dan persepsi. Dengan penjelasan tersebut di atas, besar harapan kami akan memberikan pengetahuan baru, bahwa penggunaan monyet sebagi hewan laboratorium telah melalui koridor-koridor kesepakatan internasional maupun motivasi untuk menghargai hewan sebagai ciptaan Tuhan dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan manusia.
Dalam konteks pengalaman, kita banyak mempelajari bahwa manusia terhadap penggunaan hewan laboratorium sangatlah beragam. Pada titik yang ekstrim, kita melihat adanya kelompok yang sangat mencintai hewan dan selalu memperjuangkan hak hewan. Mereka itu kita kenal sebagai animal lover dan animal right people. Sedangkan di lain pihak kita mengenal kelompok yang sangat mengeksploitasi hewan untuk berbagai macam kesenangan dan bahkan kejahatan. Mereka kita sebut sebagai animal exploitation. Pengkajian etika dalam pemanfaatan hewan tentu harus mampu menempatkan garis-garis koordinat terhadap dua aliran persepsi yang sangat berbeda. Dalam konteks penggunaan hewan, aspek etika kita bahas dalam konsep kesejahteraan hewan (animal welfare), sedangkan dalam konteks lebih luas kita mengharapkan iatu dibahas dalam konsep bioetika.
Persoalannya, bagaimana masyarakat Indonesia dapat memahami tentang konsep bioetika tersebut, tentu harus melalui strategi komunikasi yang arif dan bijaksana. Memaparkan suatu fakta dengan tanpa menyertakan pembahasan aspek bioetika, sudah tentu akan membangun persepsi yang salah di kalangan pemcaca, sebagaimana kita dapatkan pada artikel tesebut. Tanggapan ini sangat penting kami utarakan sehingga tidak menuai hasil yang kontra produktif terhadap program pengembangan biomedis nasional yang sedang dibangun dalam rangka kemandirian bangsa.
3. Soal Antisipasi
Mengantisipasi berbagai perkembangan aliran yang semakin tajam di kalangan masyarakat tentang penggunaan hewan coba, maka kami menawarkan suatu kepakaran yang barangkali dapat dimanfaatkan. Dalam konteks itu Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, melalui Musyawarah Kerja Nasional telah meresmikan Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Laboratoium. Di dalam organisasinya, terdapat dokter hewan spesialis yang secara khusus dilatih untuk menguasai aspek teknis dan non teknis dalam penyelenggaraan hewan laboratorium. Organisasi ini kiranya dapat dijadikan rujukan atas pembahasan bioetika sehubungan dengan penyelenggaraan hewan laboratirum."
Demikian tanggapan Prof. Dondin.[ken0907]
Read more...